Begitu lemahnya sistem produksi sapi didalam negeri, terutama perbibitan sehingga dalam memproduksi seekor pedet yang berharga Rp. 5 juta, petani mengeluarkan biaya setara Rp. 9 juta. Rugi Rp. 4 juta dengan waktu produksi dua tahun pula! Tetapi kebanyakan petani tidak menghitung lelahnya mencari rumput, memelihara dan memandikan ternak kedalam ongkos pakan dan tenaga kerja.
Itulah sebagian fakta yang diungkapkan dalam tulisan tersebut. Itulah mungkin mengapa banyak petani, terutama golongan muda di desa–desa, lebih memilih mencicil motor dan beralih profesi menjadi tukang ojeg, menjadi kuli bangunan di perkotaan atau menjadi TKI diluar negeri. Terlenanya negeri ini dengan produk daging sapi impor membuat terbuai dan tidak bisa membangun sistem produksi sapi yang baik didalam negeri.
Puji syukur, zaman telah berubah. Informasi kian cepat dan terbuka membuat sebagian besar masyarakat petani, pemerintah dan akademisi paham akan perlunya perubahan, menuju sistem produksi sapi di dalam negeri yang baik dan mensejahterakan semua stake holders-nya.
Benchmarking
Di Australia, sistem produksi sapi dikelola sangat baik, petani dan industri saling berdampingan. Waktu kuliah S2 di Australia, saya mempunyai teman seorang pengemudi tractor di Universiy farm dengan gaji sekitar AUD$20/jam sekaligus menjadi petani di ladang pertanian dan penggembalaan sapi puluhan hektar miliknya.
Di lain kesempatan, saya pernah dititipi rumah dan farm sapi puluhan hektar oleh salah satu dosen selama beliau dan keluarganya berlibur. Pekerjaan yang sangat mudah walaupun sendirian, hanya memeriksa tempat minum di padang penggembalaan dan membukaan beberapa pagar penggembalaan apabila sapi harus dirotasi.
Kelembapan Australia yang relatif rendah membuat sapi tidak rentan terhadap penyakit walaupun digembalakan sepanjang hari diluar. Ini menggambarkan betapa mudahnya petani–petani disana memelihara sapi bahkan bisa disambi dengan pekerjaan yang lain. Mayoritas penduduk Australia di daerah pedalaman atau bahkan dipinggiran kota mempunyai lahan penggembalaan yang diisi oleh ternak, utamanya sapi.
Petani di Australia sulit terjerat oleh tengkulak dengan menjual sapi sangat murah karena kebutuhan uang mendesak semisal untuk anggota keluarga yang sakit ataupun sekolah anak. Biaya kesehatan dan sekolah disana, sampai setingkat SMA gratis, ditanggung oleh pemerintah. Mereka bebas menjual ternaknya di pasar lelang ataupun langsung dijual ke RPH, cash pastinya!
Selain petani, lingkup sistem produksi kedua adalah industri. Sebagian besar industri sapi di Australia merupakan usaha terintegrasi antara perbibitan, penggemukan, RPH dan pengemasan. Sebut saja salah satunya Australian Country Choice Ltd., perusahaan tempat saya melakukan praktek kerja lapangan.
Pemrosesan Daging Sapi di Australian Country Choice (sumber: www.accbeef.net.au) |
Kombinasi sistem produksi berbasis petani dan industri ini hasilnya luar biasa. Kebutuhan daging domestik sangat mudah dipenuhi. Kelebihan produksi memaksa mereka invansi ke pasar internasional. Diplomasi pemerintah membantu eksportir dalam proses tersebut. Salah satu pasar yang diinvansi adalah tetangganya sendiri, Indonesia.
Dalam invansi pasar daging international, saat ini Australia menghadapi tekanan dari beberapa Negara Latin seperti Brazil dan Argentina. Brazil gencar berpromosi dan berdiplomasi dalam menginvansi pasar daging sapi international. Terutama meyakinkan negara tujuan ekspor bahwa daging dari negaranya bebas penyakit dan aman dikonsumsi. Promosi dan diplomasi tersebut sudah mulai membuahkan hasil. Daging sapi dari Brazil sudah masuk ke beberapa negara-negara di Eropa dan juga China. Di Indonesia sendiri daging sapi dari Brazil tidak dapat diterima karena Indonesia menganut sistem Country based Zone untuk mengontrol penyakit dari negara importir, seperti yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.
Daging impor Brazil ini memang lebih menggiurkan dari sisi harga dibanding dengan daging sapi Australia. Jatuhnya lebih murah terutama dalam rupiah. Pertama, karena upah minimum di Australia sekitar AUD$ 16/hour (Rp158.000/jam!) jauh lebih mahal dibandingkan dengan upah minimum di Brazil yang sekitar seperlimanya. Kedua, kenaikan mata uang dollar Australia yang signifikan terhadap rupiah. Dollar Australia sekarang diatas dollar Amerika! (Rp. 9.930 vs Rp. 9.680, sumber: GMC).
Berhasilnya Negara berkembang seperti Brazil dalam sistem produksi sapi membuat saya yakin Indonesia bisa mengikuti. Kelembapan tropis yang tinggi dan identik dengan mudahnya ternak terserang penyakit ternyata bukan halangan. Secara teknis bisa disiasati. Itu lah mengapa sekarang di publikasi jurnal–jurnal peternakan internasional mulai banyak diisi oleh ilmuwan–ilmuwan dari universitas–universitas di Brazil dan Argentina. Sama seperti halnya di Australia dan USA, di Brazil dan Argentina pun kemajuan sektor peternakan berbanding lurus dengan kemajuan kontribusi dari akademisinya.
Lalu dimana posisi Indonesia?
Pasar daging sapi di Indonesia sangatlah besar. Pertama, populasi penduduk yang besar sekitar 235 juta jiwa. Kedua, pertumbuhan ekonomi yang terjaga dikisaran 6% dalam beberapa tahun terakhir, menyebabkan bertambahnya kalangan menengah ke atas secara signifikan. Kalangan ini berpotensi meningkatkan konsumsi daging. Ketiga, konsumsi daging yang sangat tinggi pada hari raya keagamaan seperti Idul Adha dan Idul Fitri. Tetapi tingginya pasar domestik ini tidak dimanfaatkan dengan baik oleh bangsa sendiri.
Terbuai oleh mudahnya impor, menjadikan Indonesia terlena tidak membuat sistem produksi dan tataniaga sapi yang baik, terutama sistem hulu yang sangat penting, yaitu perbibitan! Tidak ada bibit, tidak ada bakalan sapi, apa yang mau digemukan? Perbibitan di dalam negeri masih bergantung kepada peternak di desa – desa dengan skala kepemilikan sedikit. Belum ada perbibitan berskala industri. Industri masih ‘wait and see’ untuk terjun ke perbibitan karena memang resikonya besar dalam hitung - hitungan bisnis. Investasinya besar dan perputaran uangnya pun lama. Lebih mudah impor daging. Cepat dan menguntungkan.
Padahal sektor penggemukan termasuk feedlot membutuhkan puluhan ribu bakalan sapi setiap 3 bulan periode penggemukan. Dengan sulitnya bakalan sapi ini, feedlot-feedlot pun memilih mengimpor sapi bakalan dari Australia untuk digemukan selama kurang lebih 3 bulan sebelum dijual dan dipotong di RPH. Untuk sektor penggemukan, Indonesia termasuk sangat berhasil. Melimpahnya sumber pakan terutama limbah industri agro sangat murah dan menguntungkan. Dengan pertumbuhan bobot badan sapi 1,2 – 1,6 kg/hari untuk Brahman Cross sudah sangat memuaskan. Tetapi tetap, masalah kedepan yang harus dicarikan jalan keluarnya adalah perbibitan.
Dengan adanya pembatasan kuota impor daging dan sapi bakalan yang diterapkan pemerintah saat ini, industri sapi harus mulai fokus melirik perbibitan. Kalau swasta masih 'wait and see', BUMN lah yang harus menjadi pelopor! Kedepan yang berhasil disektor perbibitan yang akan menjadi leader di industri ini. Persis seperti Charoen Pokphand di industri perunggasan yang saat ini menjadi leader karena yang paling menguasai perbibitan.
Kendala dan solusi perbibitan sapi
Sebetulnya begitu kompleks kendala perbibitan sapi ini, baik yang menyangkut issue teknis e.g genetik, pakan dan kontrol lingkungan. Ataupun non-teknis seperti kebijakan pemerintah. Namun ada dua poin yang ingin saya diskusikan seperti dibawah ini:
Lahan dan keamanan
Sistem intensif untuk perbibitan bukanlah pilihan yang menguntungkan. Seperti diketahui, menghasilkan anak sapi itu lama. Induk dikawinkan, bunting lalu melahirkan anak. Anak sapi ini juga harus dipelihara berbulan–bulan sampai siap digemukan. Kalau dipelihara intensif, berapa biaya pakan dan tenaga kerja yang dikeluarkan selama proses ini? Pasti tidak masuk dalam hitungan bisnis kecuali mungkin diintegrasikan dengan usaha sapi perah dimana anakan jantan nanti akan dipelihara untuk penggemukan dan penutup biaya pemeliharaan adalah hasil susu dari induk.
Yang paling murah untuk perbibitan adalah sistem penggembalaan. Membutuhkan sedikit tenaga kerja karena sapi–sapi dibiarkan cari makan sendiri dan rumputnya pun tumbuh secara alami. Tentu saja awalnya ditanami. Tetapi cara ini membutuhkan lahan yang sangat luas terutama untuk skala industri.
Walaupun lahan kosong berlimpah diluar jawa, tetapi sangat kompetitif. Pertanyaannya, apakah padang penggembalaan untuk perbibitan sapi lebih menguntungkan dari perkebunan sawit, komoditas pertanian lain atau pertambangan? Belum lagi cara mendapatkan lahan yang sulit, seperti kasus Buol. Belum lagi masalah pencurian ternak yang marak terjadi. Di Indonesia, faktor keamanan sangat penting. Ternak didalam kandang pun sering dicuri apalagi yang digembalakan diluar.
Solusi yang bisa dicoba adalah mengintegrasikan sapi dan sawit, walaupun bisa jadi rumput yang ditanam disekitar pohon sawit bisa menjadi gulma yang dapat menurunkan produksi sawit. Harus diteliti rumput apa yang cocok dan memiliki pengaruh negatif paling kecil terhadap produksi sawit. Harus dihitung juga apakah jika ada penurunan produksi sawit terkompensasi dengan untung dari perbibitan sapi. Penelitian harus mulai dilakukan untuk menjawab itu semua.
Potensi solusi kedua, mempercepat reklamasi lahan bekas galian batu bara yang sangat luas, mungkin jutaan hektar di Kalimantan dan Sumatera untuk dijadikan padang penggembalaan. Penelitian harus mulai difokuskan pada bagaimana mempercepat proses reklamasi dan rumput apa yang paling cocok pada kondisi lahan tersebut. Solusi ini memungkinkan! Di Inggris, lahan bekas tambang batu bara dimasa lalu, sekarang menjadi padang penggembalaan. Kalau solusi ini berhasil, mungkin nanti taipan–taipan tambang batu bara yang masuk orang-orang terkaya versi majalah forbes sekarang adalah pengusaha sapi dimasa yang akan datang.
Perbaikan tata niaga termasuk revitalisasi jagal
Sudah menjadi rahasia umum bagi orang peternakan bahwa bisnis sapi potong ini keras. Kalau tidak hati – hati mudah ditipu. Macetnya pembayaran uang setelah sapi dipotong di jagal-jagal menjadi masalah klasik yang sering menghampiri peternak. Makanya sebagian besar perusahaan feedlot mewajibkan pembeli membayar cash terlebih dahulu sebelum sapi–sapi dapat dikeluarkan, diangkut dan dipotong di jagal.
Tetapi sebagian besar peternak tidak mempunyai posisi tawar yang tinggi seperti perusahaan feedlot, terutama mereka yang membutuhkan uang segera karena ada anggota keluarga sakit atau anak masuk sekolah. Kalau ada sapi peternak sakit roboh, pasti ditaksir murah bahkan setengah dari harga seharusnya. Karena kerugian inilah banyak peternak yang akhirnya tidak bergairah lagi untuk berternak. Sudah melihara ternak susah, nyari rumput susah, pas dijual tekor, uangnya nyangkut pula. Lengkaplah penderitaan.
Kalau peternak sudah tidak bergairah lagi, bagaimana mau meningkatkan populasi sapi dan swasembada daging?
Potensi solusi yang harus dilakukan adalah memperbaiki kondisi dan manajemen jagal–jagal. Jagal ini adalah ujung tombak tataniaga sapi. Mayoritas jagal dimiliki oleh pemerintah lewat dinas – dinas terkait didaerah. Sayangnya, kebanyakan jagal dikelola dengan manajemen gaya ‘instansi’ pemerintah yang konvensional dan ala kadarnya. Ah, yang penting ada setoran restribusi. Mungkin seperti itu pemikirannya.
Sebagai ujung tombak tata niaga, kondisi jagal perlu diperbaiki. Tidak ada salahnya dinas menjalankan manajemen modern ber ISO dengan quality kontrol yang baik. Tempat bersih hygienis, infrastruktur lengkap, staf–staf yang ramah dan melayani. Kualitas potongan karkas baik dan terkontrol sehingga tidak merugikan peternak maupun pembeli karkas. Perputaran uang ditata sehingga bisa menjadi 'wasit' yang fair bagi pemilik sapi dan pembeli karkas. Pembeli karkas bisa diminta menyimpan sejumlah uang deposit untuk memastikan mereka membayar penuh kepada peternak pemilik sapi.
Terobosan–terobosan lain juga diperlukan untuk memastikan tataniaga sapi ini fair dan saling menguntungkan.
sumber : http://www.pulangkandang.com/2013/03/menuju-swasembada-daging-sapi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar