1.1 Latar Belakang
Peningkatan
jumlah penduduk Indonesia menyebabkan peningkatan jumlah kebutuhan
pangan, termasuk kebutuhan pangan asal hewani. Pemenuhan kebutuhan
masyarakat akan pangan hewani terutama daging dapat terpenuhi melalui
ternak. Pada awalnya pasokan daging sapi bisa disebut pasokan daging
paling besar, namun berangsur-angsur pasokan daging sapi mulai menurun.
Konsumsi daging sapi sebenarnya menduduki urutan ketiga setelah ikan dan produk puoltry, yaitu mencapai 1,99 kg setara karkas/kapita/tahun atau sekitar 10.3 persen dari total konsumsi daging pada tahun 2001 (GMI database dalam Hadi et al, 2002).
Sedangkan
permintaan daging selama tahun 200-2010 mengalami laju peningkatan
sebesar 5,00 persen per tahun, yaitu dari sebesar 225.156 ton pada tahun
2000 meningkat menjadi 366.739 ton pada tahun 2010, sedangkan penawaran
daging sapi mengalami laju penurunan sebesar -0,13 persen pertahun
yaitu dari sebesar 203.164 ton pada tahun 2000 turun menjadi 200.576 ton
pada tahun 2010 (Ilham et al, 2001).
Terlebih pertumbuhan populasi sapi cenderung lambat dan tingginya laju
pemotong sapi. Pada tahun 2007, konsumsi daging nasional mencapai
396.600 ton, sedangkan produksinya hanya 344.800 ton (Febyanti,2008).
Sehingga pada tahun 2007 pemerintah mengimpor daging dan jeroan sapi sebanyak 64.100 ton. Pada tahun 2008 dan 2009. Selama periode 2005-2009, Indonesia masih mengimpor 40 persen total kebutuhan daging sapi yang pada tahun 2009 mencapai 322,1 ribu ton. Departeman Pertanian menaikkan volume impor daging dan jeroan sapi serta sapi bakalan rata-rata di atas 10 persen.
Kondisi
yang demikinan jika tidak diantisipasi dengan upaya terobosan dalam
peningkatan produksi di dalam negeri akan menyebabkan Indonesia selalu
bergantung pada pasokan impor dan menjadi target potensial pemasaran
ternak sapi dan produk-produk turunannya bagi negara-negara produsen
utama.
Untuk
mendorong produksi daging sapi di dalam negeri diperlukan kondisi
lingkungan usaha peternakan sapi yang kondusif. Dalam kaitan masalah
tersebut, makalah ini mencoba melakukan analisis terhadap pengaruh
peternakan rakyat dalam pemenuhan konsumsi daging sapi nasional.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana peternakan rakyat mengembangkan usahanya?
2. Apa pengaruh budaya masyarakat dalam cara-cara atau sistem memelihara sapi?
3. Apa kebijakan-kebijakan pemerintah dalam membantu peternakan rakyat untuk mengembangkan usahanya?
4. Berapa besar pasokan daging sapi yang dihasilkan peternakan tradisional?
5. Apa pengaruh peternakan rakyat dalam membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitarnya?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui cara-cara peternakan rakyat dalam mengembangkan usahanya.
2. Mengetahui cara-cara atau sistem yang dilakukan peternak rakyat dalam memelihara sapi.
3. Mengetahui peran pemerintah terhadap peternakan rakyat.
4. Mangetahui prosentase pasokan daging sapi dari peternakan rakyat.
5. Mengetahui pengaruh peternakan dalam peningkatan ekonomi masyarakat sekitarnya.
2.1 Peternakan Rakyat
Populasi
ternak sapi terbesar di Indonesia merupakan peternakan rakyat yang
diusahakan dengan pakan hijauan yang ada di alam yang berupa rumput
lapang dan jerami padi. Hal ini disebabkan karena peternak tidak
mengetahui suplemen-suplemen yang dibutuhkan oleh sapi . Sapi Peranakan
Ongole merupakan bangsa sapi yang banyak dibudidayakan di Indonesia
(Prayugo et all.,2003).
Peternakan sapi yang paling banyak terdapat di Jawa Tengah dan Jawa
Timur (Sarwono dan Hario,2007). kenyataannya peternak lebih mementingkan
berat badan dari sapi agar nilai jualnya lebih tinggi. Akan tetapi
jerami padi hasil sisa tanaman pertanian kandungan proteinnya rendah
(Sugeng, 2000).
Usaha sapi potong rakyat memiliki posisi yang lemah dan sangat peka terhadap perubahan (Yusja et al., 2001).
Hal ini disebabkan oleh sifat usahanya, karekteristik usaha peternakan
rakyat bercirikan oleh kondisi sebagai berikut (Aziz,1993): (1) skala
usaha relatif kecil; (2) merupakan usaha rumah tangga; (3) merupakan
usaha sampingan; (4) menggunakan teknologi sederhana; dan (5) bersifat
padat karya dengan bernasis organisasi kekeluargaan
2.2 Pengaruh Lingkungan dan Budaya Terhadap Pola Pemeriharaan
Sistem
atau cara-cara peternakan rakyat dalam memelihara sapi pada setiap
daerah berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan
kebiasaan atau budaya dari masyarakat daerah itu sendiri. Untuk daerah
yang sulit untuk mendapatkan air dan bertemperatur tinggi biasanya
menngunakan sistem berbasis lahan (landbase).
Pola pemeliharaan yang berbasis lahan ini memilii ciri-ciri sebagai
berikut : 1. Pemeliharaan ternak biasanya dilakuakn di padang-padang
pengembalaan yang luas yang tidak dapat digunakan sebagai lahan
pertanian, sehingga pakan ternak hanya mengandalkan rumput yang tersedia
di padang pengembalaan tersebut; 2. Biasanya terdapat di Nusa tenggara
Timut, Nusa Tenggara Barat, sebagian Kalimantan, dan sebagian Sulawesi;
3. Teknik pemeliharaannya dilakukan secara tradisional, kurang mendapat
teknologi;4. Pengusahaan tidak bersifat komersial, tetapi cenderung
sebagai simbol status sosial.
Sedangkan
untuk daerah yang mudah mendapatkan air dan temperatur udaranya tidak
terlalu panas biasanya lebih memilih menggunakan sistem tidak berbasis
ladang (non landbase). Pola non landbase memiliki
ciri-ciri sebagai berikut : 1. Pemeliharaan ternak lebih banyak
dikandang dengan pemberian pakan di dalam kandang; 2. Terkait dengan
usaha tani sawah atau ladang sebagai sumber hijauan pakan ternak; dan
umumnya dilakukan di wilayah yang padat penduduk. Kedua pola
pemeliharaan tersebut sangat berpengaruh dengan tingkat kesehatan dan
kualitas dari sapi yang diternakkannya
.
.
2.3 Kebijakan Pemerintah
Peternakan
kecil umumnya masih sangat sulit mengembangkan usahanya. Maka dari itu
peran pemerintah sangat diharapkan untuk membantu peternakan rakyat
untuk bisa mengembangkan usahanya dan dapat membantu untuk pemenuhan
kebutuhan daging nasional. Adapaun kebijakan-kebijakan dan program
pemerintah yang terkait dengan pengembangan usaha peternakan rakyat
untuk peningkatan produksi, pengamanan populasi ternak domestik dan
pengembangan usaha peternakan rakyat dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Peningkatan kelahiran
Dalam hal ini pemerintah dapat membantu peternakan rakyat untuk intensifikasi perkawinan.
2. Peningkatan mutu produksi dan bobot ternak
3. Pemberantasan dan pengendalian penyakit ternak
4. Pembinan terhadap peternakan rakyat mengenai pakan ternak
2.5 Pasokan Daging Sapi dari Peternakan Rakyat
Kebutuhan
masyarakat Indonesia akan daging sapi mencapai 484 ribu ton, karenannya
pemerintah akan mengimpor sekitar 20 persen dari kebutuhan tersebut.
Menteri Pertanian Suswono mengatakan, angka ini mengalami kenaikan
karena konsumsi daging sapi per kapita masyarakat mengalami kenaikan
dari sebelumnya 1,67 kg per kapita menjadi 1,98 kg per kapita. Sebanyak
80 persen dari kebutuhan daging sapi bisa dipenuhi dari dalam negeri,
sisanya masih diimpor.
Dari
populasi sapi di Indonesia peternakan rakyat mempunyai lebih dari 10
juta ternak sapi atau sekitar 60-80 persen komoditas ternak sapi
dimiliki oleh peternakan rakyat. Berdasarkan
data BPS 2011 provinsi di Indonesia sebagai sentral peternakan sapi
adalah Jawa Timur (4,7 juta ekor), Jawa Tengah (1,9 juta ekor), Sulawesi
Selatan (984 ribu ekor), Nusa Tenggara Timur (NTT) (778,2 ribu ekor),
Lampung (742,8 ribu ekor), Nusa Tenggara Barat (685,8 ribu ekor), Bali
(637,5 ribu ekor), dan Sumatera Utara (541,7 ribu ekor). Dari keterangan
diatas sudah jelas bahwa peternakan rakyat merupakan alternatif utama
bagi pemerintah jika masih menginginkan swasembada daging pada tahun
2014. Hal tersebut bisa terwujud jika adanya perhatian dari pemerintah
terhadap peternak-peternak rakyat yang masih banyak diantara mereka
tidak memiliki pendidikan yang memadai maupun modal yang mencukupi.
2.6 Tenaga Kerja
Peternak
rakyat yang pada umumnya sangat membutuhkan ketersediaan hijauan
makanan ternak (HMT). Di Indonesia sendiri HMT untuk hewan ternak sangat
berlimpah dan tersebar di seluruh wilayah. Untuk mendapatkan HMT
peternak membutuhkan tenaga kerja untuk mencarinya. Tidak hanya itu
untuk kebutuhan-kebutuhan lainnyapun seperti penyembelihan dan
pembersihan kandang juga membutuhkan tenaga kerja, karena peternakan
rakyat tidak menggunakan teknologi yang moderen akan teteapi masih
menggunakan tenaga manusis atau padakk karya. Dalam hal ini tentunya
peternak tidak akan sulit mendapatkannya, karena peternak biasanya akan
mendapatkan tenaga jerja yang berasal dari penduduk sekitar
peternakannya. Sehingga hal ini akan membantu mengurangi angka
pengangguran di masyarakat dan membantu masyarakat agar lebih sejahtera.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Peternakan
rakyat merupakan peternakan terbesar yang aa di Indonesia. Meskipun
dalam kenyataannya peternakan rakyat ini masih memiliki kelemahan karena
skala usaha yang kecil dan peternakan rakyat ini merupakan usaha rumah
tangga.
Sistem
beternak pada masing-masing daerah berbeda. Hal ini disebabkan pengaruh
lingkungan dan kebiasaan dari masyarakat.untuk daerah yang sulit
mendapatkan air dan bertemperatur tinggi biasanya menggunakan sistem
berbasis lahan, sedangkan untuk daerah yang mudah mendapatkan air dan
bertemperatur sedang biasanya menngunakan sistem berbasis non lahan atau
menggunakan sistem kandang.
Untuk
mengembangkan usaha peternakan rakyat ini perlu adanya kebijakan dari
pemerintah untuk membantu peternak dalam mengembangkan usahanya. Karena
pasokan daging sapi dalam negeri sekitar 60-80 persen berasal dari
peternakan rakyat. Selain itu peternakan rakyat juga mampu menyerap
tenaga kerja.
3.2 Saran
1. Pemerintah harus memperhatikan peternakan rakyat dan dapat membantu untuk pengembangan usaha peternakan.
2. Pemerintah harusnya mengurangi impor daging sapi agar peternakan rakyat dapat bersaing.
3. Pemerintah harus secepatnya mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk terobosan dalam kebutuhan daging sapi.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, A. M, 1993. Strategi Operasional Pengembangan Agroindustri Sapi Potong. Prosiding Agroindustri Sapi Potong. CIDES. Jakarta.
Febyanti, F, 2008. Rencana Impor daging sapi dari Brasil Ditentang. http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2011/12/23/brk,20111223-121431. Akses tanggal 23 Desember 2011.
Hadi,P. U., N. Ilham, A. Thahar, B. Winarso, D .Vincent, and D. Quirke, 2002. Improving Indonesia’s Beef Industry. Australian Center for International Agricultural Research (ACIAR) Monograph No 35, vi+128P.
Ilham, N.B.Wiryono, I.K.Kariyoso, M.N.A.Kirom, dan Sri Hastuti, 2001. Analisis Penawaran dan Permintaan Komoditas Peternakan Unggulan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Prayugo, S.E, Purbowati dan S Dartosukarno, 2003. Penampilan Sapi Peranakan Ongole dan Peranakan Limousin yang Dipelehara Secara Intensif. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2003. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Sarwono, B dan B.H.Hario, 2007. Penggemukan Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sugeng, B. Y, 200. Beternak Domba. Penebar Swadaya. Jakarta.
Yusdja, Y. H. Malian, B. Winarso, R. Sayuti, dan A. S Bagyo, 20001. Analisa Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Peternakan. Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar